Fenomena Ghaida dan Pebulu Tangkis Indonesia yang Membela Negara Lain


 


Menyenangi sastra, tetapi lama tidak menulis. Pendatang baru kompasiana. Minta tuntunan

Menjadi Perumus Togel Handal

Setelah itu


Tutup


Baru saja ini, media olahraga di tanah air menyampaikan perolehan olahragawan bulu tangkis asal Indonesia, Ghaida Nurul Ghaniyu. Pebulutangkis putri kelahiran Bandung 20 tahun lalu itu dikabarkan sukses mendapatkan 6 titel juara pada kejuaraan internasional yang diiringinya. Yang membuat ramai ialah jumlah gelar yang dicapainya itu dan bukti jika dia mendapatkan gelar itu sesudah dia memundurkan diri dari pelatnas tahun 2019 lalu serta sekarang ini bela satu club bulu tangkis di Kanada.


Memang nampak prestise karena jumlah gelar 6 bukan bermain-main, tetapi buat yang memahami bulu tangkis, level kompetisi yang diiringi Ghaida itu sebetulnya tidak spesial. Karena, kecuali level kompetisi internasional yang berkasta rendah, beberapa tingkat di bawah level kompetisi All England atau Indonesia Terbuka (level super 1000) atau serta level Indonesia Master tahun 2019 (Super 100), pesertanya umumnya pebulutangkis benua Amerika yang sedikit bicara di kompetisi internasional.


Jadi, bila pada akhirnya banyak tanggapan warganet yang sayangkan kepindahnya Ghaida itu serta cukup banyak yang menggempur PBSI, semestinya tak perlu sebab fakta ini. Pertama, pemunduran Ghaida dari pelatnas bukan lantaran kekeliruan PBSI tetapi sebab alasan Ghaida yang dengan cara prestasi tidak dapat berkompetisi dengan sama-sama pemain pelatnas.


Yang ke-2, ialah lumrah seorang beralih negara untuk tingkatkan profesinya bila memang di negara baru itu profesinya dapat berubah lebih baik sebab kompetisi yang bertambah mudah dibanding di Indonesia.


Tentang masalah sama seperti yang dirasakan Ghaida itu, sebetulnya kepindahnya kewarganegaraan untuk bela negara lain bukan hal yang pertama. Telah semenjak masa 1990an beberapa pemain Indonesia yang beralih kewarganegaraan untuk dapat bela negara barunya, baik sebab fakta mentok prestasi atau fakta yang lain. Beberapa salah satunya dapat berprestasi lebih baik, walau cukup banyak yang tidak ada prestasinya sesudah geser.


Berikut daftar pemain Indonesia yang geser kewarganegaraan serta bela negara barunya dibarengi dengan dengan prestasi besarnya. Penulis mengurutkan berdasar tahun geser.


Fung adalah orang yang pertama-tama geser negara untuk pemain bulu tangkis. Tingginya tingkat kompetisi di pelatnas waktu itu sesaat umurnya yang capai 26 tahun, pada akhirnya membuat Fung berfikiri untuk bela negara lain. Prestasi Fung sebetulnya tidak jelek-jelek sangat.


Ia pernah memenangkan 3 kompetisi internasional (walau bukan kompetisi besar) diawalnya tahun 1990-an, tetapi jauh dibanding prestasi rekan seangkatannya seperti Ardy (perak olimpiade) atau Harianto Arbi (juara All England). Pernah menjajal Australia beberapa waktu, Fung cuma bertahan 3-4 bulan sebab situasi yang tidak lebih bagus dari Indonesia.


Pada akhirnya, Fung memperoleh penawaran dari China Taipei serta mulai bela negara itu di tahun 1994. Prestasinya tidak bermain-main, jauh lebih baik dibanding dengan waktu bela Indonesia. Kecuali gelar mayor seperti China Terbuka serta Hongkong Terbuka tahun 1996, Fung pernah mendapatkan runer up di Kejuaraan Dunia tahun 1999.


Sesudah bermain, Fung meneruskan dengan melatih pemain China Taipei khususnya pemain yunior. Salah satunya pemain hasil polesannya ialah Cheng Chao Chieh sebagai juara dunia yunior tahun 2004 dan peraih perunggu Kejuaraan Dunia Tahun 2005 serta jadi salah satunya tonggak penting buat negara itu untuk cetak prestasi dunia sampai sekarang ini. Sesudah kontraknya usai tahun 2006, Fung pada akhirnya kembali ke Indonesia serta jadi pelatih club aslinya, PB Djarum Kudus.


Kehadiran Ronald Susilo ke Singapura awalannya untuk meneruskan sekolah di negara tetangga itu. Tetapi, situasi kritis ekonomi tahun 1998 membuat Ronald punya niat menolong orang tuanya dengan jadi pemain bulu tangkis professional sekaligus juga bela Singapura. Profesinya cukup keren untuk ukuran Singapura.


Ia dapat jadi pemain Singapura pertama serta salah satu yang memenangkan kompetisi Thailand Terbuka (2003) serta Jepang Terbuka (2004), dan mempunyai rangking terbaik 8 besar dunia. Tahun 2004, serta Ronald dapat mengagetkan publik waktu menaklukkan Lin Serta di Olimpiade Athena yang pada akhirnya dijuarai oleh Taufik Hidayat itu.


Sesudah melalui profesi untuk pemain, Ronald selanjutnya membangun akademi bulu tangkis di Singapura dengan memakai namanya.


Antara pebuliutangkis yang geser negara baru yang dibelanya, masalah Mia Audina adalah yang sangat polemis, karena Mia geser bukan lantaran kalah berkompetisi. Pernikahannya dengan seorang vokalis gereja asal Belanda, Tyllo Lobman membuat harus geser ke negara Belanda.


Kemauannya untuk selalu bela Indonesia dengan masih tinggal serta berlatih di Belanda tidak diterima PBSI sebab dilihat melanggar ketentuan yang ada. Sebab kemauan bermainnya yang tinggi, Mia pada akhirnya geser kewarganegaraan serta bela Belanda di beberapa kejuaraan Internasional semenjak tahun 2000.


Talentanya yang demikian besar, memperingatkan kita untuk pemain termuda yang bela Team Uber selama riwayat sekaligus juga jadi pahlawan kemenangan Team Uber Indonesia tahun 1994 waktu umurnya belum genap 15 tahun dan peraih medali perak Olimpiade Atlanta 1996 mendekati ulang tahunnya yang ke-17, masih membuatnya untuk pemain berprestasi walau bela negara yang prestasi awalnya tidak mencolok.


Sebenarnya prestasi Eng Hian serta Flandy Limpele sebelum geser bela bendera Inggris tahun 2001-2003 bukan recehan . Mereka pernah memenangkan Kompetisi Korea Terbuka (1999), Denmark serta Malaysia (2000) dan Runer-up Indonesia terbuka (2000).


Tetapi dengan fakta sedih dengan PBSI dan penawaran dari Rexy Mainaky yang waktu itu melatih Team Inggris, membuat mereka pilih profesi di Inggris dengan perolehan yang tidak bermain-main, yakni rangking 1 dunia dengan mendapatkan beberapa gelar mayor seperti Singapura Terbuka (2002), dan Swiss Terbuka serta Jepang Terbuka (2003) kecuali runer up All England serta Indonesia Terbuka (2002). Mereka Kembali pada Indonesia sesudah diharap PBSI dan posisi mereka untuk Permanent Residence yang membuat kembalinya tidak ada kendala. Satu tahun sesudah balik, mereka persembahkan medali perunggu untuk Indonesia di Olimpiade Athena.




Popular posts from this blog

Usai Vakum Lama, Siapkah Kita Tampil di Piala Thomas dan Uber 2020?

Lin Dan, Sang Maestro Bulu Tangkis Dunia Resmi Pensiun

Winny Oktavina, Sang Penerus Butet "Terlahir Kembali" di Turnamen Internal PBSI